Cari Blog Ini

Kamis, 05 Agustus 2010

MARRIED?????


Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya   tak   bisa   ditolak.   Maka   mereka   pun   melakukan   simulasi  pernikahan.
ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan   tersenyum.   “Kau   benar-benar   seperti   anak-anak.   Kalau   kau   jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!”   potongku.   “Untuk   apa   menikah   kalau   yang   kita   dapat   hanya kesulitan?”
“Mungkin   karena   kesulitan   itu   hanya   efek   sampingnya,   sementara keuntungannya lebih banyak?”
“Sok   tahu,”   cibirku.   “Kau   sendiri   belum   menikah.   Apa   yang   kau   tahu tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”
Aku   menggeleng.   “Jangan   bilang   siapa-siapa,   tapi   kadang-kadang   aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana?
Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi —-begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar sambil tertawa.
“Kau   sadar   kan   kalau   menikah   itu   lebih   dari   sekadar   mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli,   mencaci   maki,   Menghina;   orangnya   pelit,   cemburuan,   suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan.
Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”
“Idan!”   walaupun   nada   suaraku   keras,   aku   tak   bisa   menahan   senyum mendengar   pernyataan   konyol   itu.   Setelah   dua   puluh   tahun   menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Apa kau pernah berpikir tentang ibumu?” katanya kemudian. Seperti biasa ia bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu   sepersekian   detik.   “Ia   pasti   sangat   ingin   kau   segera   mendapat pasangan   tetap.   Ia   akan   lebih   tenang   kalau   tahu   kau   akhirnya   punya seseorang yang akan menemani dan melindungimu.”
“Jangan   bicara   begitu,”   cetusku,   kembali   manyun.   “Satu,   ini   hidupku bukan   hidup   ibuku.   Aku   sedih   kalau   ibuku   sedih.   Tapi   kalau   suamiku berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard kalau perlu.”
“Baik, baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah,” Idan membungkuk dalam-dalam. “Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang ingin kau capai dengan itu?”
Aku tertunduk lemas. “Itulah, Dan,” desahku. “Aku tidak tahu. Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang lumayan.  Jadi menikah  untuk alasan  ekonomi jelas-jelas  bukan pilihan untukku.   Aku   punya   teman-teman   diskusi,   sahabat   untuk   berbagi,   jadi kesepian juga bukan alasan bagiku untuk menikah.”
“Bagaimana dengan keturunan?”
“Anak? Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya.
Kalau aku mau, aku bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri,   mengambil   risiko   dilukai   lahir   dan   atau   batin.   Tak   ada kepastian   sama   sekali   bahwa   pernikahan   itu   akan   bertahan   sepanjang hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur di tengah jalan, aku akan   jadi   pihak   yang   paling   besar   menanggung   kerugian.   Kenapa,   Dan?
Untuk apa?”
Idan termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. “Cinta mungkin?”
“Kau terlalu banyak menonton film romantis ,” olokku. “Kau tahu berapa lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?”
“Berapa lama?”
“Satu sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi.”
“Imajinasi?”
“Kalau   kau   terjebak   di   dalam   penjara   dengan   lelaki   yang   kau   benci sekaligus   yang   kau   tahu   membencimu,   kau   harus   membayangkan   menikah dengan Richard Gere atau kau bisa jadi gila.”
BERSAMBUNG

1 komentar:

  1. is it written by u,jo?!?
    i'm not read it till finish yet,
    but so far..i'm excited widh da story :)

    BalasHapus